Senin, 24 Mei 2010

Fenomena Kesenian Tradisional yang terpinggirkan


Bicara soal kesenian tradisi yang lebih populis namun tetap dianggap kurang populis dibandingkan dengan dunia seni lainnya yang lebih terkonsumtif di kalangan pelajar, mahasiswa, pejabat, tokoh-tokoh sentral kehidupannya seperti Jarang Kepang, Kubro, Wulan Sunu, Gatoloco, Topengan, Kethoprak, Ndolalak, Reog, Warokan, dan segudang jenis lainnya menjadikan lambat laun kesenian ini tergeser dan hanya mampu bergerak di tingkatan komunitas micro pedesaan. Inipun masih mending ketika masih bisa tersikapi dan disikapi, namun realitasnya di tataran tingkat komunitas pedesaan saja kesenian tradisional masih sering dipandang sebagai bentuk hiburan yang konservatif dan tak layak tayang. Mengapa?

Apa yang saya katakan ini bukan semata tidak beralasan. Lihat saja di kanan kiri kita manakala ada orang punya hajat mantenan, supitan, ponggahan, peringatan tujuh belasan, dll - lebih praktis yang ditampilkan adalah hiburan organ tunggal yang sekali pancal bisa memainkan apa saja. Meh campursarinan, dangdutan, ngepop, ngerock, bahkan tidak mustahil nanti jathilan nggak perlu pakai sperangkat musik gamelan. Alasan mereka sederhana saja, sekedar untuk effisien anggaran dan tempat. Kondisi yang sudah demikian sudah bisa kita tarik kesimpulan sebagai indikator tidak lama lagi gerakan kesenian murni warisan leluhur ini akan semakin kandas. Tidak mustahil gerakannya akan menyempit pada tataran di tingkat rumah tangga dan malah suatu ketika cuma digerakkan oleh satu orang yang harus kembang kempis jogetan dan berganda main musiknya (malah sudah sering muncul di pasar dengan kedudukan sebagai orang mbarang). Sepinya minat terhadap kesenian ini tercermin pada mereka yang kemudian terpaksa melakukan pertunjukan dalam bentuk persahabatan, bahkan yang lebih ngeri terpaksa dipagelarkan dengan ganti uang recehan di jalanan. Mengapa? Dan siapa yang akan bertanggungjawab bila suatu ketika justru orang lain atau bangsa lain yang akan mengklaim sebagai kesenian miliknya dan memiliki hak paten? Bangsa yang sadar dan pintar tentu segera mengambil dan berminat dengan ekspresi kesenian tradisi untuk dipatenkan, mengapa? Bangsa yang demikian harus disadari bahwa kesenian mampu mengangkat harkat dan citra bangsa, apalagi dalam esensinya orang berksenian itu mampu memperagakan action yang bisa ditangkap sebagai alat pemersatu bangsa dan aset yang luar biasa bagi pengembangan kepariwisataan ataupun khas simbul kementherengannya (mutuistik bangsa). Tapi apa yang terjadi di tengah kesbukan para pemimpin bangsa kita ini yang lebih mengedepankan adanya gerakan komersialitas dibidang ekonomi katimbang kesenian. Sadar apa tidak sadar merebaknya kesenian negara lain yang lebih dianggap populis sudah berarti para pempimpin bangsa sengaja telah memberi peluang untuk bangsa lain lewat ekspresi kesenian sebagai simbul boleh beredarnya budaya manca untuk meracuni, menggeser dan mengganti budaya yang menyangkut perilaku bangsa kita yang memiliki khas sendiri.

Kalau saya memberikan ilustrasi sebuah kemorat-maritan penataan adanya budaya lewat ekspresi kesenian tradisi kita karena pada hakikatnya yang namanya ekspresi kesenian itu mengandung nilai filosofis yang tak terkira sebagai harta kekayaan. Dalam ekspresi orang berkesenian pada hakikatnya sedang mengembangkan sikap pembentukan kepribadian yang nilainya sangat tinggi. Dalam berkesenian orang tidak akan berbicara ras, basic, dll. Sangat terintegritasnya sikap perilaku saling mengasihi dan mencintai dan sudah mengabaikan soal kekayaan, agama, dan thehek bengek yang sering membuat dunia tidak tenteram sudah menjadi bumbu otomatis pelaku kesenian. Adanya sikap asih, asah, asuh dan membela tradisi prakmatis bangsa kita sendiri, mengapa masih diragukan? Tak perlak lagi karena setiap mata pemegang kendali tradisi mulai berpikir gaya kapitalis yang segala sesuatunya diukur untung dari segi finansial materi. Dalam setiap pembahasan APBN amupun APBD sentuhan terhadap ilustrasi kesenian sangatlah minim sekali. Di salah satu Kota Kecil yang pernah menjadi cikal bakal lahirnya Wayang Kulit Kedu, Temanggung saja perhatian terhadap ekspresi kesenian mulai lumpuh. Indikator pejabat mengenyampingkan ekspresi kesenian kalau tidak mau dikatakan memarginalkan sangat terlihat sekali. Yang demikian tentu juga terjadi di daerah-daerah kota kecil lainnya. Lihat saja dimana-mana mangkrong Gedung Olah Raga, tapi jarang ada bahasa Gedung Kesenian. Untuk menambah platform gedung Olah Raga yang sudah ada agar ditambah menjadi Gedung Olah Raga dan Kesenian saja Pemerintah masih terkesan alot...Ada apa sebenarnya?

Beberapa alasan kesenian ini semakin terpinggirkan atau dimarginalkan, diantaranya :
(1) Peran pelaku kesenian yang kurang mampu berinofasi dan mampu bertahan menjadikan seni tradisi sebagai wahana budaya yang harus tetap dilestarikan. Adanya kurang kesadaran meletakkan seni sebagai bentuk mempertajam tatanan sosial yang mestinya mengedepankan idialisme berkesiannya dan bukannya mencari populeritas semata yang parameternya adalah mencari keuntungan yang bersifat material. Itulah mengapa, seorang seniman seperti Sitok Srengenge pernah mengatakan : Seniman itu ada dua. Satu boleh dibilang seniman tulen, dan satunya lebih dikenal sbagai pelacur kesenian!" Idialisme mestinya harus dijadikan senjata tempur sebagai seniman untuk menghalau dan melawan budaya yang tidak pas dengan kepribadian bangsa.
(2) Peran masyarakat yang mulai cenderung memilih kesenian yang lebih berbau elektrik dan murah ditampilkan. Ukurannya tetap saja pada pengertian materi dan menganggap kesenian sekedar berhenti pada pengertian 'hiburan'.
(3) Peran lembaga Pemerintah yang kuirang kompeten menanganii. Banyak para pejabat yang disuruh menangani kesenian tidak pas dengan basic pengalaman empiricnya, baik yang didukung secara akedemis maupun pengalaman lapangan. Tidak munculnya 'ghiroh' menjadikan gerak atau tidaknya sebuah action berkesenian tergantung anggaran yang disediakan. Sekali lagim di satu sisi APBN-APBD tak pernah serius bicara masalah ini. Ada perbandingan yang sangat mencolok anggaran pembinaan kesenian dan olah raga atau yang lainnya dimana sangat terlihat anggaran ini selalu dimarginalkan. Inovasi sebagai terobosan saja tidak serius dilaukan. Kalau ada gerakan bulan dana PMI bahkan Olah Raga tertentu, kesenian jangan berharap dapat perhatian seperti ini. Banyak di daerah muncul bangunan GEDUNG OLAH RAGA, namun jarang ada yang membikin GEDUNG KESENIAN. Kalau toh anggarannya dipasung, untuk merubah image agar setiap Gedung Olah Raga di daerah ditambah label dengan Gedung Olah Raga dan Kesenian, Pemerintah tetap alot dan enggan menanggapi. Urusan kesenian saja cuma includ di Dinas Pariwisata yang note bene juga lebih banyak bicara untung rugi karena dikejar target dari sisi Pendapatan Daerah. Idialisme berkesenian ala seni tradisional juga dimatikan atau sengaja hendak dibumi hanguskan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Jarang pada pelajaran sekolah dibakuan kegiatan ekstra kurikuler dengan pelajaran mengolah kesenian tradisi. Adanya mulai dari TK sudah dipacu Drum-Band, di Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi disulut agar siswa mampu mandiri dalam tanda kutip ketrampilan berproduktif membangun ekonomi. Masih terus bicara materi. Ini sangat berbeda jauh di jaman awal kemerdekaan, dimana pertunjukan kesenian tradisional meraja lela dimana-mana. Kalau Pemerintah serius menggarap kesenian tentu saja bisa dilakukan protek dan perlindungan terhadap kesenian tradisi, tapi memang Wakil-Wakil Rakyat kita jarang yang awalnya dari Pelaku atau pecionta Kesenian Tradisional.
(4) Adanya dogma terselubung dari budaya manca negara yang terus menonjok-nonjok memerangi kesenian sampai ada anggapan bahwa kesenian tradisional bikin orang lemah dan ngatuk saja sehingga tak perlu diteruskan. Lihat saja tayangan media televisi dan media cetak laiinya. Sponsornya pada mundur bila acara yang dipertotonkan kesenian tradisional. Indosiar dulu pernah melakukan program ini tapi akhirnya toh tidak kuat menghadapi arus pengguna dan pemirsanya yang sebagian besar tidak setuju. Bila sudah demikian, jangan salahkan kalau kemudian anak-anak sekolah lebih suka main band dengan lagu kebarat-baratan walau syairnya tidak pernah mampu diterjemahkan sendiri olehnya. Sudah ada image bahwa pelajar mulai dari SD sampai perguruan tinggi, kalau tidak bisa ngefans lagu-lagu Amerikanan nggak ngetrend lagi. Jangan salahkan kalau kemudian para pelajar yang sudah tercekok kemudian bergaya free dan menganggap remeh adanya unggah-ungguh.

Sungguh malang nasib kesenian tradisional nantinya. Kalau toh sekarang masih ada yang mampu bisa bertahan, kita harus angkat tangan dan beri hormat. Tapi sekali lagi,......semua saja harus mulai berinteraksi untuk memperhatikan nasih kesenian tradisional kita. Kuda lumping jangan cuma didominasi oleh mereka yang aktifitasnya sebagai Tukang Becak, Kuli bangunan atau buruh kasar, dan orang orang kelas bawah. Pelajar dan Mahasiswa harus bergerak dan mulai mengemas kesenian ini dan menonjol sebagai penggagas, pelaku, dan sebaginya untuk menciptakan image bahwa kesenian tradisional jauh lebih hebat dari kesenian modern. Kita semua harus tanggap mengapa Malasia mengklaim dan mematenken karya seni kebanggan bangsa kita? Mengapa baru kemudian kita ramai ramai ganti menggugat Malaisia agar menghormati karya kita? Sadar nggak, bahwa semua itu bisa terjadi karena Pemerintah kita ini sangat lalai menghormati karya bangsa sendiri. Jangan terjadi lagi yang demikian. Sekaranglah saatnya seluruh elemen bangsa kita ini bergerak menyelematkan dan melestarikan kesenian tradisi kita. Kapan?

(Maspar ARS)


Ditulis sekitar 2 bulan yang lalu · Komentari · Suka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar